Selasa, 12 Desember 2017

“Di Balik Sosok Pencerdas Kehidupan Bangsa”

    Sejak tahun ajaran baru 2013/2014, pemerintah meresmikan untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 pada satuan pendidikan. Permulaan pelaksanaan Implementasi Kurikulum 2013 dimulai dengan beberapa sekolah yang akan dijadikan percontohan Kurikulum 2013 pada setiap jenjang pendidikan. Kemudian sekolah yang menjadi percontohan Kurikulum 2013 ini diharuskan untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada sekolah-sekolah lainnya yang belum melaksanakan Implementasi Kurikulum 2013. Dalam Implementasi Kurikulum 2013 ini terdapat kesimpang-siuran sehingga menjadi problema bagi para guru dan siswa yang masih kebingungan dan belum paham akan proses pembelajaran yang harus dilakukan, terutama jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD).
Dari pengalaman saya melakukan wawancara dan observasi ke beberapa SD, kebanyakan para guru mengeluhkan pelaksanaan Implementasi Kurikulum 2013. Pembelajaran tematik dalam Kurikulum 2013 mengharuskan untuk menggabungkan beberapa mata pelajaran menjadi satu tema yang sama, ini bersumber dari Buku Guru dan Buku Siswa. Jika kurangnya sumber belajar Buku Guru dan Buku Siswa mengakibatkan guru ataupun siswa harus mengeluarkan dana untuk memperbanyak buku-buku tersebut, bahkan jika bahan ajar kurang memadai di sekolah, para guru harus mencari materi dari buku-buku lain ataupun dari internet. Belum lagi guru harus menyediakan media pembelajaran yang dituntut untuk menarik minat siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Selain itu, dalam mewujudkan tujuan pendidikan, peran guru merupakan salah satu pihak yang berpengaruh sehingga menuntut mereka untuk menjadi Guru Profesional. Tuntutan tersebut tidak pandang pangkat dan golongan, semua guru mempunyai kewajiban yang sama untuk “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Padahal dari perbedaan pangkat dan golongan tersebut memperlihatkan bahwa kualitas dari para pendidik tidak sama. Hal itu juga mempengaruhi terhadap perbedaan hak honorarium yang masing-masing guru dapatkan. Miris sekali jika profesi sebagai guru honorer non sertifikasi, terbayangkan seberapa gaji yang didapat lalu terhambat dan tertunda untuk memperoleh hak mereka.
Salah seorang guru honorer non sertifikasi mengungkapkan bahwa di SD tempat beliau mengamalkan profesi keguruannya cenderung mengalami hambatan dalam pencairan Bantuan Operasional Sekolah, sehingga terhambat pula para guru untuk mendapatkan honorarium. Sudah lelah menyiapkan perangkat pembelajaran, sudah lelah juga mengajar para siswa dari pagi sampai siang, hingga harus mengikuti dan melakukan berbagai tuntutan-tuntutan pemerintah, dan bahkan honorarium yang selalu diharapkan kedatangannya tanpa ada hambatan apapun namun kenyataannya berkata lain, lengkap sudah beban yang menumpuk bertubi-tubi.
Beliau juga merupakan seorang istri dari suami yang memiliki profesi yang sama, sekaligus seorang ibu dari keempat anak-anaknya,  sangat terasa sekali beratnya menjadi guru honorer jika “gaji apa kabar?, dapur sengsara!”. Kebutuhan sehari-hari di rumah seperti makan, mandi, sampai bekal anak-anaknya yang sekolah, bahkan pemenuhan alat kosmetik pun diluar kebutuhan khusus seorang wanita sehingga beliau cenderung mengabaikannya karena lebih memilih memprioritaskan untuk keperluan keluargannya. Gaji yang ditunggu-tunggu jika terhambat kedatangannya “bikin pusing seisi rumah”.
Adapun suami beliau yang bahkan memiliki kewajiban untuk menafkahi istri dan anak-anaknya menjadi beban tersendiri jika hanya mengandalkan gaji honerer saja. Semakin bertambahnya tahun, semakin tumbuh dan berkembangnya anak-anak mereka, semakin banyak pula kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Ini menjadi tuntutan untuk bertahan hidup.
Dengan beberapa keluh kesah menjadi seorang guru di atas, mungkin sebagian kecilnya turut dirasakan oleh mahasiswa/i yang mengemban pendidikan di perguruan tinggi bidang Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Ketika ada tugas praktik mengajar di SD, para Mahasiswa/i dituntut untuk se-perfect mungkin dalam mempersiapkan dan melaksanakan praktik mengajar tersebut. Mulai dari pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang harus mengacu pada Tema, Matrikulasi, Pemetaan KD, dan Silabus yang biasanya diperoleh dari internet, menyiapkan Lembar Kerja Siswa (LKS), menyiapkan bahan ajar, memperbanyak lembar evaluasi pembelajaran, bahkan diharuskan untuk membuat media pembelajaran yang “se-menarik mungkin”. Media pembelajaran yang menarik itu adalah media yang dapat mendorong para siswa untuk mengikuti dan menuruti arahan guru selama kegiatan pembelajaran, namun “merogoh kocek” yang cukup besar. Hal ini sangat saya rasakan karena biaya pembuatan media pembelajaran lebih besar dari biaya makan anak kost-an sehari-hari. Imbasnya juga terhadap pengurangan jatah kosmetik dan bahkan harus bersabar bila ada keinginan untuk belanja.
Belum lagi pada saat pelaksanaan kegiatan pembelajaran, siswa yang cenderung gaduh dan sulit diarahkan untuk kondusif mengundang saya naik pitam. Namun karena menjadi seorang pendidik yang mengharuskannya untuk sabar, maka disitulah salah satu ujian kesabaran sebagai guru. Para praktik mengajar pula secara langsung merasakan bagaimana realita menjadi seorang guru, bagaimana realita kondisi siswa dalam kegiatan pembelajaran, bagaimana kesulitan guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran, bahkan bagaimana tunjangan gaji yang terlambat cair khususnya bagi para guru honorer.
Berdasarkan pengalaman narasumber saya, guru honorer tersebut dengan suaminya berjualan sembako di warung yang mereka buka untuk menambah penghasilan mereka. Ini dilakukan untuk membantu memenuhi kebutuhan mereka. Hal tersebut dapat ditiru bagi baik oleh guru maupun Mahasiswa/i untuk mencari pendapatan lain dalam membantu memenuhi kebutuhan pribadi.
Alangkah baiknya jika ingin menjadi guru, niatkanlah untuk mengabdikan diri dan menebar kebaikan kepada masyarakat khususnya dalam dunia pendidikan. Menjadi sukarelawan dalam profesi guru tidak akan menjadi beban tersendiri, namun akan tumbuh keikhlasan dalam mewujudkan tujuan bangsa, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Walaupun demikian, tetap saja perlu penghasilan tambahan dari profesi lainnya agar biaya kebutuhan sehari-hari tetap terpenuhi.

Jumat, 30 Desember 2016

Pendidikan Adalah Komunikasi dan Dialog

Pendidikan bukan transfer pengetahuan, tetapi perjumpaan subjek-subjek dalam dialog dalam pencarian signifuikansi objek dari proses mengetahui dan berpikir (Freire 1997). Dalam komunikasi yang beroperasi melalui kata-kata, relasi pemikiran-bahasa-konteks atau realitas tidak dapat terputus. Tidak ada pemikiran yang tidak memilik suatu acuan ke realitas dan yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh realitas. Karena  itu bahasa yang mengekspresikan pemikiran itu tentu saja memperlihatkan pengaruh ini juga. Komunikasi tidak dapat direduksi menjadi komunikasi yang efisien yang mempersyaratkan subjek-subjek dalam dialog dan mengarahkan diri untuk “masuk kedalam” objek yang sama. Ia mempersyaratkan bahwa mereka yang mengekspresikannya dengan sarana tanda-tanda linguistik yang sama bagi kedua pihak agar merekadapat memiliki sebuah pemahaman yang sama tentang objek komunikasi. Tidak aka nada komunikasi, jika pemahaman makna (signifikasi) dari suatu tanda tidak terbangun di kalangan Subjek-subjek-dalam-dialog. Jika tanda tidak memiliki makna yang sama (signifikasi) bagi Subjek-subjek dalam komunikasi, komunikasi berhenti untuk terjadi karena kekurangan pemahaman yang esensial.

Pendidikan Freire Yang Diagnosis


Freire (1970). Dialog adalah perjumpaan antarmanusia,dimensi oleh dunia,dalam rangka menamai dunia. Menamai dunia dimaknai sebagia mengkonfirmasi segala ciptaan Tuhan dengan merekreasikannya melauli kata-kata sejati dalam diri melalui proses mencari,dan terus mencari. Karena itu dialog tidak dapat terjadi antar mereka yang ingin menamai dunia dan mereka yang tidak ingin menamai dunia. Mereka yang ingin menamai dunia adalah mereka yang berada pada level epistemologi, mereka adalah pencari ilmu, mereka mencintai perubahn dan bahagia dengan pencarian itu. Bagi mereka dunia perlu dinamai secara otentik melalui dialog-dialog. Sedangkan mereka yang tidak bersela menamai dunia adalah mereka yang pasif reaktif. Mereka yang pasif hanya menerima penamaan dunia dari penguasa, kata-kata tentang dunia menurut mereka tidak perlu dicari, sedangkan mereka yang reaktif berusaha mengungkapkan kata-katanya sendiri dan membungkam mulut orang lain untuk berkata-kata,mereka anti-dialog.
Pendidikan Freire yang dialogis banyak ditunjukan menggerakkan masyarakat yang masih berkesadaran naïf, magis, atau fanatik, menuju ke kesadaran kritis, memfasilitasi mereka untuk dapat mengintervensi proses historis. Caranya :
a.       Dengan metode aktif, dialogis, menstimulasi – kritisisme dan kritis;
b.      Dengan isi program pendidikan yang dinamis;
c.       Dengan penggunaan teknik-teknik seperti “penguraian’ tematik dan “kodifikasi”.
Metode ini didasarkan atas dialog, yang merupakan perhubungan antar orang secara horizontal.
Relasi “empati” antar dua “kutub” yang terlibat dalm sebuah pencarian bersama. (Jaspers) dilahirkan dari sebuah matriks kritis, dialog mengkreasi sebuah sikap kritis. Dialog ditumbuhkan oleh cinta, kerendahn-hati, harapan, keyakinan, dan kepercayaan. Ketika dua kutukb dialog terhubungkan oleh hal tersebut mereka dapat bergabung dalm sebuah pencarian kritis sesuatu hal. Hanya dialog yang menumbuhkan komunikasi yang sebenarnya.(jaspers,dalam Freire, 1974) dialog adalah satu-satunya jalan, tidak hanya dalam masalah-masalah vital dari tatanan politik, tetapi dalam semua ekspresi dari keberadaan kita di dunia. Hanya melalui keyakinan, bagaimanapun, dialog memiliki kuasa dan makna.
Sedangkan anti-dialog akan mereduksi manusia menjadi benda,malahirkan budaya bisu yang menahun. Budaya bisu akan menenggelamkan kesadaran manusia, manusia jadi tidak kritis, manusia terbirokrasi, manusia menghindari realitas, bahkan lari darinya. Relasi “terputus”. Anti-dialog mempresentasikan perhubungan antarmanusia secara vertical. Ia tidak mengandung cinta,karena itu tidak kritis, dan tidak bisa menciptakan sikap kritis. Anti-dialog memepresentasikan sikap kecukupan-diri sendiri dan arogansi total. Dalam anti-dialog relasi empati antar “kutub-kutub” terputus. Dengan demikian anti-dialog tidak berkomunikasi, tetapi utamanya menerbitkan komunika-komunika yang kaku dan sama persis. Guru yang anti-dialog melihat muridnya bagaikan bejana kosong yang miskin ilmu,jadi ia memposisikan dirinya sebagai penyedia, penyuplai, dan distributor  ilmu.

Dominasi Dunia Melalui Dialog Sebagai Komunikasi dan Interkomunikasi


Dialog-dialog kritis akan membangkitkan kesadaran kritis manusia, menghidupkan hati, memacu pikiran, dan membentuk karakter manusia yang aktif-transformatif. Dialog-dialog akan membentuk manusia yang mampu menggenggam dunia. Karena dialog adalah sebuah perjumpaan antar manusia yang hendak menamai dunia, lalu kemudian menggenggamnya, dialog harus dibangun melalui kata-kata sejati yang otentik, bukan kata yang dicopy dari pihak lain, yang justru akan merusak esensi dialog. Dialog adalah sebuah tindakan kreasi; ia bukan suatu unstrumen yang lihai untuk melakukan dominasi pembisuan. “dominasi yang implisit dalam dialog adalah dominasi dunia oleh para peserta dialog; dialog adalah penaklukan dunia untuk pembebasan umat manusia”. “dialog adalah kreatif dan rekreatif. Bahkan dibandingkan dengan pekerjaan menulis buku sendirian, dengan dialog anda merekreasi diri anda sendiri dengan tingkatan yang lebih besar”.
Mustahil ada dialog tanpa adanya komunikasi. Komunikasi adalah inti dari fenomena dialog. Selama komunikasi tidak ada subjek-subjek yang pasif. Subjek-subjek memperlihatkan ekmampuannya untuk merangsek-menerobos-menyatu terhadap objek dari pemikiran mereka yang mengkonsumsikan isi yang kay dan bermakna. Komunikasi dikarakterisasi oleh fakta bahwa ini adalah dialog, dalm hal dialog adalah berkomunikasi. Dalam perhubungan antar komunikasi dan dialog subjek-subjek yang terlibat dalm dialog mengekspresikan diri mereka sendiri melalui sebuah sisyem tanda-tanda linguistic secar sadar. Agar tindakan komunikasi berhasil, harus terdapat kesesuian antar subjek-subjek yang berkomunikasi secara timbal balik.Yakni, ekspresi verbal dari salah satu subjek harus dapat dipahami dalam kerangka acuan yang bermakna bagi subjek lainnya. Jika kesepakatan terhadap tanda-tanda lingistik ini digunakan untuk mengekspresikan objek yang dimaksud tidak ada, maka di antara subjek-subjek ini tidak akan dapat ada pemahaman, dan komunikasi menjadi tidak mungkin. Karena itu pemahaan dan komunikasi terjadi secara serempak, bukan hal yang terpisah satu sam lainnya. Sama kelirunya adalh konsepsi yang memandang tugas pendidikan sebagai sebuah tindakan men-transmisi atau sebagi extension sistematis pengetahuan. Tugas pendidik bukan menetapkan diri sendiri berperan menyebarkan “komunike-komunike”, akan tetapi membangun komunikasi yang dialogis,dialog yang internasionalis,sadar terhadap objek,dan kaya makna.