Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan
dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke
bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam
sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan
keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau
asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para
ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari
beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut
Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang
cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan
Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan
Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan
Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari
Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar.
Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan
untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian
penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum
menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu
diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk
menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah
Gunung Kendeng tersebut. Menurut Adimihardja (2000), keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus
tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai
sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng
tersebut. Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada
dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka
sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy
sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Di Baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh kisah seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet. Kehadiran kisah ini adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Di Baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh kisah seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet. Kehadiran kisah ini adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
Bahasa yang digunakan orang Baduy adalah Bahasa Sunda dialek a–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa
Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari
sekolah.
Menurut Garna (1993), kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan
berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada
perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan
Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau
ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang
Kanekes. Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes
tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas,
yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes
mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada
bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya
puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat
terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Menurut Permana (2003), Di kompleks
Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam
keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu
merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun,
dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering
atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya,
kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan
kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya
Islam.
Daftar Pustaka
http://www.alambudaya.com/2010/07/asal-usul-suku-baduykanekes-banten.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar