Dialog merupakan praktek yang asasi
untuk kodrat manusia, demikian pula dengan pendidikan adlah kodratnya manusia.
Pendidikan dapat dipandang sebagai dialog yang merupakan fenomena manusia,
esensinya adalah : the word. Tetapi kata adalah lebih dari sekedar alat yang
membuat dialog menjadi mungkin ; oleh karena itu, kita harus mencari
unsur-unsur pembentukannya. Dalam ‘kata’ kita menemukan dua dimensi, yaitu
refleksi dan aksi, dalam suatu interaksi yang sangat mendasar hingga bila salah
satunya dikorbankan – meskipun itu hanya sebagian – yang lainnya akan langsung
merugi. Tidak ada kata sejati yang pada saat bersamaan juga tidak merupakan
sebuah praxis. Dengan demikian, mengucapkan kata sejati adalah mentransformasi
dunia.
Sebuah kata yang otentik adlah kata
yang mampu mentransformasi realitas, dihasilkan ketika dikotomi tidak
diberlakukan atas unsur-unsur pembentukannya. Ketika sebuah kata dicabut
dimensi aslinya, refleksi otomatis dikorbankan juga, dan kata yang diubah
menjadi percakapan yang tidak berarti, menjadi verbalisme, menjadi suatu bualan
yang terasingkan dan mengaasingkan, ia menjadi kata-kosong, kata yang tidak
dapat mengeritik keras secara public (dunia)., karena pengeritikan tidak
mungkin tanpa suatu komitmen untuk melakukan transformasi, dan bahwa tidak ada
transformasi tanpa aksi.
Pada sisi lainnya, jika tindakan
ditekannkan secara eksklusif,hingga mengorbannkan refleksi, kata diubah menjadi
aktivisme. Ini adalah tindakan itu sendiri yang menegasikan praxis dan membuat
dialog menjadi tidak mungkin. Tindakan-tindakan yang eksklusif dan menepikan
dialog adalah sebuah proses pendidikan yang terlalu menekankan praktek dan
praktek, sebagai halnya sekolah-sekolah kejuruan yang menerapkan dominasi praktek.
Sehingga dampak yang terjadi adalah pengasingan terhadap daya ubah dari
praktek-praktek itu sendiri,para siswa miskin daya juang dan daya cipta dalam
mentransformais dunia melalui apa yang mereka ciptakan.
Dialog merupakan inti dari proses pendidikan
transformative, radikal, kritis, pembebasan, paxis, dan hadap-maslah.
Pendidikan memiliki sifat yang tetap, yaitu pencarian yang terus menerus, maka
dari itu pendidikan harus dialogis,
karena dialog adlah kebutuhan eksistensial manusia untuk senantiasa melakukan
pencarian, tanpa dialog maka manusia tereduksi mennjadi benda. Dialog
diibaratkan sebagai sebuah kekuatan manusia yang mampu membantu merubah
sturktur social penindasan kearah struktur social humanisasi.
Eksistensi manusia tidak dpat
dilakukan dengan cara membisu, juga tidak dapat ditumbuhkan dengan kata-kata
yang salah, tetapi hanya dengan dengan kata-kata yang benar,yang dengan
kata-kata yang benar ini manusia mentrasformasi dunia. Mengatakan kata yang
benar adalah sebuah karya, praxis dan mengubah dunia, mengatakan kat itu
bukanlah hak istimewa segelintir orang. Konsekuinsinya, tidak ada seorangpun
yang dapt mengubah kata yang benar sendirian – juga tidak dapat mengatakannya
untuk orang lain, melalui tindakan preskriptif yang merampas kata-kata orang
lain. Kata yang benar hanya mampu diciptakan oleh manusia-manusia yang berdiri
sejajar untuk belajat, tidak mengajari berkata-kata satu sama lain.
Dialog tidak pernah terjadi apabila
prasyarat untuk melakukan dialog tidak terpenuhi. Dialog merupakan situasi
belajar yang mempersyaratkan:
a. Perhubungan
Dialogis
b. Cinta
c. Kerendahan
hati
d. Keyakian
mendalam terhadap manusia
e. Kepercayaan
f. Harapan
g. Pemikiran
Kritis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar