Jumat, 30 Desember 2016

Konsep Dialog


Dialog merupakan praktek yang asasi untuk kodrat manusia, demikian pula dengan pendidikan adlah kodratnya manusia. Pendidikan dapat dipandang sebagai dialog yang merupakan fenomena manusia, esensinya adalah : the word. Tetapi kata adalah lebih dari sekedar alat yang membuat dialog menjadi mungkin ; oleh karena itu, kita harus mencari unsur-unsur pembentukannya. Dalam ‘kata’ kita menemukan dua dimensi, yaitu refleksi dan aksi, dalam suatu interaksi yang sangat mendasar hingga bila salah satunya dikorbankan – meskipun itu hanya sebagian – yang lainnya akan langsung merugi. Tidak ada kata sejati yang pada saat bersamaan juga tidak merupakan sebuah praxis. Dengan demikian, mengucapkan kata sejati adalah mentransformasi dunia.
Sebuah kata yang otentik adlah kata yang mampu mentransformasi realitas, dihasilkan ketika dikotomi tidak diberlakukan atas unsur-unsur pembentukannya. Ketika sebuah kata dicabut dimensi aslinya, refleksi otomatis dikorbankan juga, dan kata yang diubah menjadi percakapan yang tidak berarti, menjadi verbalisme, menjadi suatu bualan yang terasingkan dan mengaasingkan, ia menjadi kata-kosong, kata yang tidak dapat mengeritik keras secara public (dunia)., karena pengeritikan tidak mungkin tanpa suatu komitmen untuk melakukan transformasi, dan bahwa tidak ada transformasi tanpa aksi.
Pada sisi lainnya, jika tindakan ditekannkan secara eksklusif,hingga mengorbannkan refleksi, kata diubah menjadi aktivisme. Ini adalah tindakan itu sendiri yang menegasikan praxis dan membuat dialog menjadi tidak mungkin. Tindakan-tindakan yang eksklusif dan menepikan dialog adalah sebuah proses pendidikan yang terlalu menekankan praktek dan praktek, sebagai halnya sekolah-sekolah kejuruan yang menerapkan dominasi praktek. Sehingga dampak yang terjadi adalah pengasingan terhadap daya ubah dari praktek-praktek itu sendiri,para siswa miskin daya juang dan daya cipta dalam mentransformais dunia melalui apa yang mereka ciptakan.

Dialog merupakan inti dari proses pendidikan transformative, radikal, kritis, pembebasan, paxis, dan hadap-maslah. Pendidikan memiliki sifat yang tetap, yaitu pencarian yang terus menerus, maka dari itu pendidikan  harus dialogis, karena dialog adlah kebutuhan eksistensial manusia untuk senantiasa melakukan pencarian, tanpa dialog maka manusia tereduksi mennjadi benda. Dialog diibaratkan sebagai sebuah kekuatan manusia yang mampu membantu merubah sturktur social penindasan kearah struktur social humanisasi.
Eksistensi manusia tidak dpat dilakukan dengan cara membisu, juga tidak dapat ditumbuhkan dengan kata-kata yang salah, tetapi hanya dengan dengan kata-kata yang benar,yang dengan kata-kata yang benar ini manusia mentrasformasi dunia. Mengatakan kata yang benar adalah sebuah karya, praxis dan mengubah dunia, mengatakan kat itu bukanlah hak istimewa segelintir orang. Konsekuinsinya, tidak ada seorangpun yang dapt mengubah kata yang benar sendirian – juga tidak dapat mengatakannya untuk orang lain, melalui tindakan preskriptif yang merampas kata-kata orang lain. Kata yang benar hanya mampu diciptakan oleh manusia-manusia yang berdiri sejajar untuk belajat, tidak mengajari berkata-kata satu sama lain.

Dialog tidak pernah terjadi apabila prasyarat untuk melakukan dialog tidak terpenuhi. Dialog merupakan situasi belajar yang mempersyaratkan:
a.       Perhubungan Dialogis
b.      Cinta
c.       Kerendahan hati
d.      Keyakian mendalam terhadap manusia
e.       Kepercayaan
f.       Harapan
g.      Pemikiran Kritis

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar