Orang-orang berdialog, berbicara dengan
kata-kata mereka, dengan menamai dunia, mentransformasinya, yang menjadi dialog
yang tumbuh sendiri sebagai cara mereka mencapai signifikansi sebagai manusia.
karena itu dialog adalah suatu existensial necessity. Dan karena dialog adalah
perjumpaan yang mempersatukan refleksi dan tindakan dari para pelakunya
ditujukan pada dunia yang akan ditransformasi dan dihumanisasi, dialog ini
tidak dapat direduksi menjadi tindakan pihak-pihak yang “mendositokan” ide-ide
kepada pihak lainnya, juga ia tidak dapat menjadi sebuah pertukaran ide
sederhana yang akan dikonsumsi oleh para peserta diskusi. Juga dialog ini bukan
silang argument yang kasar, polemic, antara mereka yang tertarrik untuk menamai
dunia atau mencari kebenaran, tetapi lebih tertuju untuk pemberlakuan kebenaran
mereka sendiri secara santun.
Perhubungan dialogis, di samping sebagi
praktik fundamental pada manusia dan pada masyarakat demokratis, juga merupakan
sebuah persyaratan epistemologis. Sebagi alat, dialog dapt digunakan atu
tidak,yang daopat diganti-gati oleh alat lainnya. Dialog bukan hanya alat, atau
praktik pendidikan, tetapi sikap hidup atau dialogisme manusia sebagi Subjek
yang juga inconclusive beings yang sadra diri, mengimplikasikan dialog. Karena
itu tanpa dialog tidak ada subjek. Dialog mengansumsikan kesetaraan
antarmanusia, hubungan subjek-subjek. Dialog menandai tindakan mengetahui yang
bersifat social,meskipun tindakan ini memiliki dimensi individual (Freire
1987). Perhubungan Subjek-objek, bukan perhubungan kesetaraan, bukan dialog.
Dialog juga mengasumsikan kekurangan, kesalahan, kekeliruan, bukan
self-suffiency; karena itu dialog mereprresentasikan perjalanan pembentukan
manusia secara social dan historis. Manusia adalah pengada yang dibangun secara
social dan historis melalui dialog, dialog adalah kebutuhan eksistensial
manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar