Senin, 19 Desember 2016

Orientasi Pendidikan, Nyatanya?



Pendidikan kita adalah pendidikan yang berorientasi pada konsumsi pengetahuan kurang fokus pada bagaimana pengetahuan diproduksi. Data empirik yang menunjukkan bahwa pendidikan kita lebih banyak merupakan konsumsi pengetahuan, sebagai berikut :
1.      Pendidikan berorientasi pada pengaajaran
Dr. Ilffriandra,M.Pd dalam buku Struktur Fundamental Pedagogik menyatakan bahwa guru-guru di Indonesia tidak profesional, mereka lebih cocok dijuluki “tukang ajar”, karena ia hanyalah pelaksana program, pengetahuan sudah disusun sedemikian rupa oleh pemerintah dan guru bertugas mengajarkan pengetahuan itu kepada siswanya dengan cara konvensional, yakni diajarkan, dituturkan, dan diberikan ala kadarnya kepada siswa. Jadi ujung-ujungnya pendidikan turun pangkat jadi pengajaran, pengajaran turun pangkat jadi pelatihan soal jika Ujian Nasional (UN) mendekat. Kesimpulannya pendidik yang terorientasi pada pengajaran merupakan pembodohan yang tersistematisasi.
2.      Verbalisme dalam pendidikan
Hasil Komite Penilaian Pendidikan Nasional dalam Beeby (1980) , verbalisme sudah lama terjadi di dalam dunia pendidikan di Indonesia sejak diberlakukannya kurikulum tahun 1975. Verbalisme dalam pembelajaran telah terjadi secara masif, siswa belajar menganai pernyataan-pernyataan klise, kosong tanpa makna. Siswa tahu dan hafal tetapi tidak memahaminya, tidak menerapkan, tidak menganalisis apalagi men-sintesis-nya. Teks-teks dipelajari dari konteks.
3.      Pengetahuan yang terbirokrasi
Pengetahuan terbirokrasi adalah sejumlah paket-paket pengetahuan yang dikonsumsi oleh siswa dikontrol dan dibatasi sekat-sekat standar kompetansi, kompetensi dasar, indikator, materi pokok dan alokasi waktu secara sistemik.
4.      Ruang refleksi terbatas
Pengetahuan menjadi tidak otentik ketika ruang releksi terbatas. Ruang refleksi terbatas karena kurang terjadi dialog antara siswa dengan guru. Ruang refelksi terbatas tidak membantu kesadaran kritis siswa dalam mengkonsumsi dan memproduksi pengetahuan. Ini merupakan salah satu dampak dari class size dalam kisaran kurang lebih 30-40 orang per kelas, sungguh ukuran kelas yang gemuk. Guru yang buta pedagogi tentunya akan melakukan trik-trik untuk membungkam mulut siswa agar senantiasa tertib mengerjakan tugas dalam keadaan sunyi senyap. Ketika kesunyian terjadi, disitulah kematian menjadi manusia menggejala. Belajar hanya terorientasi pada pengerjaan tugas, tanpa refleksi kritis terhadap realittas (konteks).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar