Pendidikan
kita adalah pendidikan yang berorientasi pada konsumsi pengetahuan kurang fokus
pada bagaimana pengetahuan diproduksi. Data empirik yang menunjukkan bahwa
pendidikan kita lebih banyak merupakan konsumsi pengetahuan, sebagai berikut :
1. Pendidikan
berorientasi pada pengaajaran
Dr.
Ilffriandra,M.Pd dalam buku Struktur Fundamental Pedagogik menyatakan bahwa
guru-guru di Indonesia tidak profesional, mereka lebih cocok dijuluki “tukang
ajar”, karena ia hanyalah pelaksana program, pengetahuan sudah disusun
sedemikian rupa oleh pemerintah dan guru bertugas mengajarkan pengetahuan itu
kepada siswanya dengan cara konvensional, yakni diajarkan, dituturkan, dan
diberikan ala kadarnya kepada siswa. Jadi ujung-ujungnya pendidikan turun
pangkat jadi pengajaran, pengajaran turun pangkat jadi pelatihan soal jika
Ujian Nasional (UN) mendekat. Kesimpulannya pendidik yang terorientasi pada
pengajaran merupakan pembodohan yang tersistematisasi.
2. Verbalisme
dalam pendidikan
Hasil
Komite Penilaian Pendidikan Nasional dalam Beeby (1980) , verbalisme sudah lama
terjadi di dalam dunia pendidikan di Indonesia sejak diberlakukannya kurikulum
tahun 1975. Verbalisme dalam pembelajaran telah terjadi secara masif, siswa
belajar menganai pernyataan-pernyataan klise, kosong tanpa makna. Siswa tahu
dan hafal tetapi tidak memahaminya, tidak menerapkan, tidak menganalisis
apalagi men-sintesis-nya. Teks-teks dipelajari dari konteks.
3. Pengetahuan
yang terbirokrasi
Pengetahuan
terbirokrasi adalah sejumlah paket-paket pengetahuan yang dikonsumsi oleh siswa
dikontrol dan dibatasi sekat-sekat standar kompetansi, kompetensi dasar, indikator,
materi pokok dan alokasi waktu secara sistemik.
4. Ruang
refleksi terbatas
Pengetahuan
menjadi tidak otentik ketika ruang releksi terbatas. Ruang refleksi terbatas
karena kurang terjadi dialog antara siswa dengan guru. Ruang refelksi terbatas
tidak membantu kesadaran kritis siswa dalam mengkonsumsi dan memproduksi
pengetahuan. Ini merupakan salah satu dampak dari class size dalam kisaran
kurang lebih 30-40 orang per kelas, sungguh ukuran kelas yang gemuk. Guru yang
buta pedagogi tentunya akan melakukan trik-trik untuk membungkam mulut siswa
agar senantiasa tertib mengerjakan tugas dalam keadaan sunyi senyap. Ketika
kesunyian terjadi, disitulah kematian menjadi manusia menggejala. Belajar hanya
terorientasi pada pengerjaan tugas, tanpa refleksi kritis terhadap realittas
(konteks).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar