Banyak masalah di dalam hidup kita bisa ditarik ke satu sebab
mendasar, yakni tidak adanya dialog. Orang mengira pendapatnya sendiri
sebagai benar, dan menghina pendapat orang lain. Orang tidak lagi
mendengar dengan seksama, sehingga salah paham, dan cenderung menanggapi
dengan amarah dan kebencian. Akibatnya, banyak masalah tak selesai,
sementara masalah baru datang bermunculan.
Sebenarnya, dialog bukanlah barang baru di dalam hidup manusia. Ia
sudah selalu menjadi bagian hidup kita. Menurut Reza A.A Wattimena (2016), dialog adalah upaya untuk
memahami maksud dan cara berpikir seseorang dengan berbicara langsung
dengannya. Ia adalah landasan dari beragam bentuk diskusi. Ketika kita merencanakan sesuatu, misalnya tujuan dari liburan tahun
ini, kita berdialog dengan teman ataupun keluarga kita. Dialog dan
diskusi juga amat penting untuk menyelesaikan kesalahpahaman yang
biasanya berujung pada konflik. Ia juga menjadi cara paling baik untuk
membuat berbagai keputusan penting dalam hidup.
Peter Senge di dalam bukunya The Fifth Discipline dan Chade Meng Tan di dalam bukunya Search Inside Yourself sepakat, bahwa dasar terpenting dari dialog adalah Mindfulness. Reza A.A Wattimena menerjemahkan kata tersebut sebagai
kesadaran. Dalam arti ini, kesadaran adalah kemampuan orang untuk
memperhatikan segala hal yang terjadi di dalam dirinya dari saat ke
saat, mulai dari rasa pegal, gejolak emosi, sampai dengan semua sensasi
panca indera, tanpa penilaian dan analisis apapun.
Ketika orang berbicara di dalam dialog, ia juga perlu untuk sadar
akan hal-hal yang terjadi di dalam dirinya, serta kata-kata yang keluar
dari mulutnya. Ini membuatnya tetap tenang dan jernih, sehingga bisa
menyampaikan maksudnya secara jelas dan sopan. Inilah yang disebut
berbicara dengan kesadaran (mindful speaking). Tanpa pola ini, orang akan cenderung berbicara dengan emosi, dan menimbulkan kesalahpahaman dari pihak lain.
Untuk bisa berbicara dengan penuh kesadaran, orang juga harus belajar
mendengar dengan kesadaran. Orang perlu menyimak sepenuhnya pembicaraan
orang lain, tanpa melakukan penilaian atau analisis apapun. Inilah yang
disebut dengan mindful hearing. Jika tidak jelas, orang boleh bertanya kepada orang tersebut. Itu pun dilakukan dengan penuh kesadaran.
Dasar dari mendengar dan berbicara dengan kesadaran adalah hidup yang berkesadaran (mindful living).
Hidup yang berkesadaran berarti hidup yang penuh perhatian pada setiap
gejolak di dalam tubuh yang terjadi saat ke saat. Ini berarti
memperhatikan semua perasaan, emosi, pikiran dan sensasi panca indera
yang muncul di sini dan saat ini. Semua perhatian ini dilakukan juga
dengan tanpa penilaian dan analisis apapun.
Di dalam bukunya yang berjudul Theorie des kommunikativen Handelns,
Jürgen Habermas, filsuf Jerman, menekankan pentingnya tindakan
komunikatif sebagai unsur penyatu di dalam masyarakat majemuk. Tindakan
komunikatif adalah sebentuk dialog dengan memperhatikan setidaknya tiga
klaim dasar, yakni klaim kebenaran, klaim kejujuran dan klaim
komprehensibilitas. Ini tentu berguna. Namun, tanpa mendengar dan berbicara dengan
kesadaran, ketiga klaim tersebut akan sulit tercapai. Orang lalu
terjebak pada kebohongan, kebingungan dan kesalahpahaman. Gabungan
antara teori tindakan komunikatif Habermas dan teori kesadaran (mindfulness) dari Senge dan Tan kiranya cocok untuk menjadi dasar bagi hidup yang dialogis.
Jika kita melihat hidup kita sebagai sebentuk dialog, maka segalanya
akan lebih mudah. Kita bisa melakukan refleksi mendalam atas pengalaman
hidup kita dengan dialog dengan diri sendiri. Kita bisa mencapai
kesalingpemahaman dengan orang lain yang berbeda cara berpikir dengan
kita. Kita juga bisa hidup dalam harmoni dengan alam, karena keterbukaan
dan kesadaran kita.
Daftar Pustaka
https://rumahfilsafat.com/2016/10/10/dialog-sebagai-jalan-hidup/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar