Istilah Jawara biasa diberikan kepada seseorang yang memiliki
kunggulan fisik dan supranatural, dan cenderung menggunakan kekerasan
dalam menyelesaikan setiap persoalannya. Begitupun halnya dengan istilah
jawara itu sendiri. Penyusuran proses kemunculan istilah jawara baru
terbatas pada sejarah sosial (budaya tutur) bersifat stamboom
bukan geschiedenis atau history, yang secara akademis sukar untuk
dipertanggungjawabkan. Dari stamboom
yang ada, sebagian besar masyarakat sepakat untuk menunjuk daerah Banten
sebagai tempat dimana istilah ini pertama kali muncul, karena jawara
merupakan salah satu edentitas masyarakat Banten yang sangat terkenal.
Hingga dalam perkembangannya menyebar ke beberapa daerah yang
melingkupinya termasuk Betawi, Bekasi-Pantura, Bogor dan Priangan
bersamaan dengan dimulainya proyek pembangunan Jalan Raya Pos Deandles.
Berdasarkan catatan seorang peneliti sejarah kabupaten Lebak, Miftahul Falah, S.S menguraikan bahwa sejarah sosial masyarakat Banten sendiri memiliki lima penafsiran tentang proses kemunculan istilah jawara.
Penafsiran pertama,
ketika kerajaan Sunda menggunakan sekelompok masyarakat sebagai
perantara atau penghubung antara masyarakat dengan rajanya. Mereka
memiliki kewenangan tidak hanya melayani antara raja dan rakyat, tetapi
juga membela dan melindunginya. Dalam keseharian mereka memiliki ke
khasan dalam berpakaian dan gaya hidupnya, seperti jago dalam menyabung
ayam, pandai bermain pencak silat dan memiliki ilmu “kadugalan” yang
kebal senjata tajam sebagai kekuatan supranaturalnya. Dalam perkembangan
selanjutnya, keterampilan bermain silat dan kekebalan tubuh yang
dimilikinya menjadi ciri utama kelompok ini sehingga melahirkan sebutan jawara.
Penafsiran kedua,
ketika pada masa Kesultanan Banten dipegang oleh Maulana Hasanuddin.
Dalam menghadapi pasukan Pajajaran yang teramat kuat, Sultan membentuk
sekelompok orang-orang dalam satu pasukan khusus yang dipimpin oleh
Maulana Yusuf. Setiap anggotanya memiliki keunggulan secara lahir dan
batin, militan dan mampu mengahancurkan secara cepat menyusup ke pusat
pemerintahan Pajajaran di Pakuan. Pasukan khusus tanpa identitas itu
diberi nama Tambuhsangkane, yang bergerak dengan
tidak mengatas namakan kesultanan Banten. Sifat militan yang dimiliki
oleh pasukan khusus ini menumbuhkan sifat pemberani dan kemudian dibina
secara terus menerus. Dari merekalah kemudian lahir kaum jawara.
Penafsiran ketiga, F.G. Putman Craemer, Residen Banten (1925-1931), istilah jawara dimulai dengan dibentuknya perkumpulan Orok Lanjang
oleh golongan pemuda di Distrik Menes Pandeglang, yang bermakna harfiah
sebagai “bayi yang menjelang dewasa”. Perkumpulan kampung ini pada
awalnya dibentuk untuk meningkatkan hubungan kekerabatan dalam satu
lingkungan, memberikan pertolongan dan pelayanan dalam segala kegiatan
termasuk membantu masyarakat dalam penyelenggaraan pesta atau acara
kampung.
Lambat laun tugas yang diserahkan
masyarakat kepada kelompok pemuda ini sebagai penyelenggara acara
kampung menjadi satu kewajiban, apabila tidak diundang atau diserahkan
sebagai petugas penyelenggara mereka akan mengacau atau bahkan
menggagalkan jalannya acara. Pada perkembangannya, kelompok ini
berkembang menjadi organisasi tukang pukul yang dikenal dengan sebutan
jawara. Mereka menjadi organisasi momok yang menakutkan bagi masyarakat,
sampai-sampai aparat praja setempat tidak dapat bertindak tegas kepada
mereka.
Penafsiran keempat, istilah jawara
muncul ketika terjadi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda di
abad 19 yang digerakkan oleh kaum ulama. Kaum ulama yang umumnya
memiliki dua kelompok santri yang dididik berdasar bakat dan kemampuan
mereka, dimana kelompok pertama merupakan kaum santri yang memiliki
bakat dibidang ilmu agama yang akan menggantikan posisi para ulama
nantinya. Mereka dibekali ilmu hikmah selain ilmu agama Islam sebagai
ilmu dasarnya .
Sedangkan kelompok kedua merupakan
kaum santri yang memiliki bakat dan kemampuan dibidang bela diri pencak
silat. Kelompok kedua ini dididik dan dibina kekuatan fisiknya dengan
ilmu bela diri pencak silat, dan dibekali pula dengan ilmu hikmah namun
jauh lebih sedikit porsinya dibanding santri kelompok pertama. Mereka
ditugasi untuk melakukan teror terhadap pemerintah kolonial Belanda dan
kaki tangannya. Kelompok kedua inilah yang kemudian hari disebut dengan
jawara.
Penafsiran kelima, istilah jawara
muncul sebagaimana yang diungkapkan RM Taufik Djajadiningrat, tatkala
dimulainya pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (1808-1811) antara
Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan yang sangat merugikan rakyat ini
menimbulkan pemberontakan dikalangan para pendekar persilatan, dikenal
dengan peristiwa Perang Pertama. Dari peristiwa pemberontakan ini memunculkan julukan jawara yang ditujukan kepada mereka.
Pada awalnya istilah jawara memiliki makna sebagai jagoan,
dengan pengertian jago dalam menyabung ayam dan bela diri pencak silat.
Selain itu, mereka pun memiliki kemampuan untuk mempertontonkan ilmu
kekebalan. Kemampuan-kemampuan itu dipergunakan oleh para jawara untuk
membela dan menciptakan rasa aman dan ketenangan di lingkungannya.
Kemampuan itu mereka miliki karena kedudukannya sebagai pemimpin
informal di tengah-tengah masyarakat, baik semasa kerajaan Sunda,
kesultanan Banten, maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Pergeseran
makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi pada
abad ke-19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan
perampokan yangtiada tara. Hal ini kemudian oleh pemerintah kolonial
Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif kepada para pejuang
dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif ini
sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi masyarakat untuk
menganggap mereka sebagai pembuat onar, pengacau, dan perampok. Sehingga
mencap semua kaum jawara adalah bandit sehingga perlawanan dalam bentuk
gerakan sosial, yang bermaksud melawan penjajahan asing dianggap
sebagai onsluten (keonaran), ongergeldheden (pemberontakan), complot (komplotan), woelingen (kekacauan),dan onrust (ketidak amanan).
Sejak
saat itulah para pendekar persilatan dan ulama yang mengadakan
perlawanan dianggap sebagai jawara, yang merupakan akronim dari jalma wani nga-rampog (orang yang berani merampok) atau orang yang beani menipu/pembohong (jalmawani nga-rahul).
Konotasi negatif ini terus berkembang sampai abad ke 20, dan hingga
kini tidak sedikit masyarakat yang termakan oleh stigma negatif Belanda
tersebut.
Secara umum jawara memiliki definisi sebagai orang yang memiliki
kepandaian bermainsilat dan memiliki keterampilan-keterampilan tertentu.
Berbeda dengan perampok atau pencuri, mereka adalah figur seorang yang
mampu menjaga keselamatan dan keamanan desa, sehingga karenanya
masyarakat menghormati keberadaan mereka. Pada umumnya, jawara sangat
patuh kepada ulama, karena semangat dalam jiwa mereka diperoleh dari
para kaum ulama. Di tanah Betawi sendiri hampir memiliki makna yang
sama, namun istilah jawara bagi masyarakat natif Betawi berangkat dari
istilah “potong letter” lidah natif Betawi yaitu juware atau juara yang tidak terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau pencaksilat.
Daftar Pustaka
https://www.facebook.com/notes/nurdiansyah-nurdin/sejarah-jawara-banten/632525436765371/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar