Kamis, 08 Desember 2016

Filosofi Jawara Banten

Istilah Jawara biasa diberikan kepada seseorang yang memiliki kunggulan fisik dan supranatural, dan cenderung menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalannya. Begitupun halnya dengan istilah jawara itu sendiri. Penyusuran proses kemunculan istilah jawara baru terbatas pada sejarah sosial (budaya tutur) bersifat stamboom bukan geschiedenis atau history, yang secara akademis sukar untuk dipertanggungjawabkan. Dari stamboom yang ada, sebagian besar masyarakat sepakat untuk menunjuk daerah Banten sebagai tempat dimana istilah ini pertama kali muncul, karena jawara merupakan salah satu edentitas masyarakat Banten yang sangat terkenal. Hingga dalam perkembangannya menyebar ke beberapa daerah yang melingkupinya termasuk Betawi, Bekasi-Pantura, Bogor dan Priangan bersamaan dengan dimulainya proyek pembangunan Jalan Raya Pos Deandles.
Berdasarkan catatan seorang peneliti sejarah kabupaten Lebak, Miftahul Falah, S.S menguraikan bahwa sejarah sosial masyarakat Banten sendiri memiliki lima penafsiran tentang proses kemunculan istilah jawara.
Penafsiran pertama, ketika kerajaan Sunda menggunakan sekelompok masyarakat sebagai perantara atau penghubung antara masyarakat dengan rajanya. Mereka memiliki kewenangan tidak hanya melayani antara raja dan rakyat, tetapi juga membela dan melindunginya. Dalam keseharian mereka memiliki ke khasan dalam berpakaian dan gaya hidupnya, seperti jago dalam menyabung ayam, pandai bermain pencak silat dan memiliki ilmu “kadugalan” yang kebal senjata tajam sebagai kekuatan supranaturalnya. Dalam perkembangan selanjutnya, keterampilan bermain silat dan kekebalan tubuh yang dimilikinya menjadi ciri utama kelompok ini sehingga melahirkan sebutan jawara.
Penafsiran kedua, ketika pada masa Kesultanan Banten dipegang oleh Maulana Hasanuddin. Dalam menghadapi pasukan Pajajaran yang teramat kuat, Sultan membentuk sekelompok orang-orang dalam satu pasukan khusus yang dipimpin oleh Maulana Yusuf. Setiap anggotanya memiliki keunggulan secara lahir dan batin, militan dan mampu mengahancurkan secara cepat menyusup ke pusat pemerintahan Pajajaran di Pakuan. Pasukan khusus tanpa identitas itu diberi nama Tambuhsangkane, yang bergerak dengan tidak mengatas namakan kesultanan Banten. Sifat militan yang dimiliki oleh pasukan khusus ini menumbuhkan sifat pemberani dan kemudian dibina secara terus menerus. Dari merekalah kemudian lahir kaum jawara.
Penafsiran ketiga, F.G. Putman Craemer, Residen Banten (1925-1931), istilah jawara dimulai dengan dibentuknya perkumpulan Orok Lanjang oleh golongan pemuda di Distrik Menes Pandeglang, yang bermakna harfiah sebagai “bayi yang menjelang dewasa”. Perkumpulan kampung ini pada awalnya dibentuk untuk meningkatkan hubungan kekerabatan dalam satu lingkungan, memberikan pertolongan dan pelayanan dalam segala kegiatan termasuk membantu masyarakat dalam penyelenggaraan pesta atau acara kampung.
Lambat laun tugas yang diserahkan masyarakat kepada kelompok pemuda ini sebagai penyelenggara acara kampung menjadi satu kewajiban, apabila tidak diundang atau diserahkan sebagai petugas penyelenggara mereka akan mengacau atau bahkan menggagalkan jalannya acara. Pada perkembangannya, kelompok ini berkembang menjadi organisasi tukang pukul yang dikenal dengan sebutan jawara. Mereka menjadi organisasi momok yang menakutkan bagi masyarakat, sampai-sampai aparat praja setempat tidak dapat bertindak tegas kepada mereka.
Penafsiran keempat, istilah jawara muncul ketika terjadi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda di abad 19 yang digerakkan oleh kaum ulama. Kaum ulama yang umumnya memiliki dua kelompok santri yang dididik berdasar bakat dan kemampuan mereka, dimana kelompok pertama merupakan kaum santri yang memiliki bakat dibidang ilmu agama yang akan menggantikan posisi para ulama nantinya. Mereka dibekali ilmu hikmah selain ilmu agama Islam sebagai ilmu dasarnya .
Sedangkan kelompok kedua merupakan kaum santri yang memiliki bakat dan kemampuan dibidang bela diri pencak silat. Kelompok kedua ini dididik dan dibina kekuatan fisiknya dengan ilmu bela diri pencak silat, dan dibekali pula dengan ilmu hikmah namun jauh lebih sedikit porsinya dibanding santri kelompok pertama. Mereka ditugasi untuk melakukan teror terhadap pemerintah kolonial Belanda dan kaki tangannya. Kelompok kedua inilah yang kemudian hari disebut dengan jawara.
Penafsiran kelima, istilah jawara muncul sebagaimana yang diungkapkan RM Taufik Djajadiningrat, tatkala  dimulainya pembangunan Jalan Raya Pos Deandles (1808-1811) antara Anyer-Panarukan. Pembangunan jalan yang sangat merugikan rakyat ini menimbulkan pemberontakan dikalangan para pendekar persilatan, dikenal dengan peristiwa Perang Pertama. Dari peristiwa pemberontakan ini memunculkan julukan jawara yang ditujukan kepada mereka.
Pada awalnya istilah jawara memiliki makna sebagai jagoan, dengan pengertian jago dalam menyabung ayam dan bela diri pencak silat. Selain itu, mereka pun memiliki kemampuan untuk mempertontonkan ilmu kekebalan. Kemampuan-kemampuan itu dipergunakan oleh para jawara untuk membela dan menciptakan rasa aman dan ketenangan di lingkungannya. Kemampuan itu mereka miliki karena kedudukannya sebagai pemimpin informal di tengah-tengah masyarakat, baik semasa kerajaan Sunda, kesultanan Banten, maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Pergeseran makna jawara yang terkontaminasi dengan hal yang negatif terjadi pada abad ke-19 ketika Banten dan sekitarnya diwarnai oleh kekacauan dan perampokan yangtiada tara. Hal ini kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dimanfaatkan untuk membentuk stigma negatif kepada para pejuang dari kalangan pendekar persilatan dan kaum ulama. Stigma negatif ini sengaja diciptakan Belanda dalam upaya memprovokasi masyarakat untuk menganggap mereka sebagai pembuat onar, pengacau, dan perampok. Sehingga mencap semua kaum jawara adalah bandit sehingga perlawanan dalam bentuk gerakan sosial, yang bermaksud melawan penjajahan asing dianggap sebagai onsluten (keonaran), ongergeldheden (pemberontakan), complot (komplotan), woelingen (kekacauan),dan onrust  (ketidak amanan).
Sejak saat itulah para pendekar persilatan dan ulama yang mengadakan perlawanan dianggap sebagai jawara, yang merupakan akronim dari jalma wani nga-rampog (orang yang berani merampok) atau orang yang beani menipu/pembohong (jalmawani nga-rahul). Konotasi negatif ini terus berkembang sampai abad ke 20, dan hingga kini tidak sedikit masyarakat yang termakan oleh stigma negatif Belanda tersebut.

Secara umum jawara memiliki definisi sebagai orang yang memiliki kepandaian bermainsilat dan memiliki keterampilan-keterampilan tertentu. Berbeda dengan perampok atau pencuri, mereka adalah figur seorang yang mampu menjaga keselamatan dan keamanan desa, sehingga karenanya masyarakat menghormati keberadaan mereka. Pada umumnya, jawara sangat patuh kepada ulama, karena semangat dalam jiwa mereka diperoleh dari para kaum ulama. Di tanah Betawi sendiri hampir memiliki makna yang sama, namun istilah jawara bagi masyarakat natif Betawi berangkat dari istilah “potong letter” lidah natif Betawi yaitu juware atau juara yang tidak terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau pencaksilat.

Daftar Pustaka
https://www.facebook.com/notes/nurdiansyah-nurdin/sejarah-jawara-banten/632525436765371/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar