Jumat, 30 Desember 2016

Mengapa Harus Ada Cinta Dalam Dialog?


Dialog merupakan laku penciptaan dunia oleh para manusia yang menintai dunia. Mencintai seesama manusia dan mencintai kehidupan.  Cinta merupakan pondasi dari dialog. Cinta merupakan tanggung jawab dari subjek-subjek yang memperjuangkan kebebasan dan tidak berada dari relasi dominasi. Dominasi memunculkan pathologi cinta : sadism terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Cinta merupakan laku pemihak terhadap kaum tertindas dimanapun mereka berada, tindakan dari cinta adalah komitmen terhadap prinsip mereka – prinsip kebebasan. Sebagai tindakan dari pemihakan kaum tertindas, cinta tidak dapat sentimental; sebagai suatu tindakkan dari kebebasan, ia tidak dapat bertindak sebagai dalih untuk memanipulasi, cinta harus melahirkan tindakan kebebasan orang-orang lain; jika tidak demikian, ia bukanlah cinta. Hanya dengan mengakhiri suatu penindasan cinta yang hilang dapat dipulihkan. Dalam proses pembeajaran, seorang guru harus membangun cinta pada semua muridnya, cinta yang diawali dengan perasaan empati. Menurut Amold (Loreman, 2010), empati telah digambarkan “kemampuan untuk memahami pikiran dan perasaan diri dan orang lain. Ini adalah kemampuan canggih yang melibatkan attunement (focus pada orang lain), decentering (melihat orang lain dengan berbagai pertimbangan), dan intropeksi : tindakan bijaksana, serta tulus”. Berdasarkan pendapat Amold tersebut dapat disimpulkan bahwa proses mendidik harus didasarkan atas rasa cinta dan kasih sayang yang diawali dengan rasa empati terhadap anak ddik, dengan proses mendidik yang kaya akan rasa kasih sayang diyakini akan memberikan pengaruh positif yang terus berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar