Kamis, 22 Desember 2016

Pendidikan Profesi Guru, Perlukah?

Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan merupakan salah satu paket sertifikasi guru selain portofolio dan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Sebab, kedua jalur sertifikasi tersebut akan berakhir tahun 2015. Untuk menjadi peserta PPG dalam jabatan harus direkomendasikan oleh kepala sekolah masing-masing dan diverifikasi dinas pendidikan kabupaten/kota yang bersangkutan.

Menurut Edi Subkhan (2011), asal mula adanya Pendidikan Profesi Guru (PPG) prajabatan adalah akibat salah paham dalam memahami pendidikan guru dan profesi guru itu sendiri. Di bawah ini kutipkan dari draft Panduan Pendidikan Profesi Guru Prajabatan yang dapat diambil di website Kementerian Pendidikan Nasional.
"Guru dipandang sebagai jabatan profesional dan karena itu seorang guru harus disiapkan melalui pendidikan profesi.  […] Kewajiban menyelenggarakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) mengharuskan adanya pedoman atau aturan pelaksanaannya agar kegiatan pendidikan profesi itu dapat segera dilaksanakan dengan sebaik-baiknya".
Coba perhatikan kalimat pertama, bahwa seorang guru harus dipersiapkan melalui pendidikan profesi, yang dimaksud pendidikan profesi dalam kalimat pertama adalah kata generik (umum) yang menurut beliau dapat disematkan pada universitas, institute dan sekolah tinggi kependidikan yang telah ada selama ini. Namun tiba-tiba pada kalimat kedua dengan tanpa prolog, karena memang pada tulisan aslinya, kalimat pertama adalah akhir paragraf dan kalimat kedua adalah awal paragraf baru, pendidikan profesi untuk guru ditulis sebagai sebuah kata baku yang menyebut konsep atau entitas tertentu, yakni menuliskannya menjadi Pendidikan Profesi Guru (PPG) dengan huruf kapital pada awal kata.
Penulisan tersebut menunjukkan bahwa PPG yang dimaksud pada kalimat kedua merujuk pada konsep tersendiri yang dibakukan melalui penulisan Pendidikan Profesi Guru yang disingkat PPG. Tanpa dasar yang jelas, konsep umum pendidikan profesi guru dibakukan menjadi Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang berbeda dari pendidikan profesi guru sebagaimana dijalankan oleh kampus-kampus kependidikan selama ini.
Sebelumnya dalam Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 53 ayat (1) tafsirannya bukanlah Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebagai suatu konsep tersendiri yang berbeda dari kampus, sekolah dan lembaga pendidikan yang ada selama ini. Badan hukum pendidikan yang dimaksud ya tiada lain adalah kampus, sekolah dan lembaga pendidikan yang ada selama ini. Tentu lucu kemudian kalau argumennya, bahwa penulisan Badan Hukum Pendidikan dengan huruf kapital pada tiap katanya merujuk pada penulisan Badan Hukum Pendidikan (dengan huruf kapital di awal tiap kata) tepat sebelum pasal 53, yakni di bawah kata “Bagian Kedua”. Ya, tentu saja penulisannya dengan diawali huruf kapital tiap kata, karena itu judul bagian (bab).
Alasan selanjutnya dari diperlukannya PPG adalah, “…dirasakan semakin mendesak mengingat kebutuhan tenaga guru yang nyata di lapangan mengharuskan PPG dilaksanakan dengan segera agar pengangkatan guru baru dapat dilakukan sesuai dengan ketetapan yang ada” (masih dari Bab I Pendahuluan item A tentang Rasional Penyelenggaraan PPG). Pertanyaan saya: apa terdapat ketentuan bahwa untuk diangkat sebagai guru, seseorang harus lulus PPG? Tidak ada, yang ada adalah ketentuan bahwa seseorang tersebut harus lulus S1 atau diploma IV. Tidak percaya? Oke, saya kutipkan dari Undang-Undang No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen—yang juga dirujuk oleh panduan PPG tersebut. Pada pasal 8 dan 9 dinyatakan:
"(pasal 8 ) Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (pasal 9) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat".
Memang jelas-jelas tidak ada dilegislasi berupa undang-undang tersebut mengenai keharusan adanya PPG. Rupa-rupanya agaknya cantolan argument perlunya PPG adalah pada Peraturan Pemerintah No. 74/2008 tentang Guru, yakni pada Bagian Kedua tentang Sertifikasi pasal 4 ayat (1) dan (2). Di situ dinyatakan bahwa:
"(pasal 4 ayat [1]) Sertifikat Pendidik bagi Guru diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi, baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun Masyarakat, dan ditetapkan oleh Pemerintah. (pasal 4 ayat [2]) Program pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diikuti oleh peserta didik yang telah memiliki Kualifikasi Akademik S-1 atau D-IV sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".
Menurut Edi pula  pada PP No. 74/2008 tentang Guru pasal 4 ayat (1) dinyatakan bahwa sertifikat pendidik bagi guru diperoleh melalui program pendidikan profesi dari kampus kependidikan yang baik dan terakreditasi. Istilah program pendidikan profesi pada ayat (1) tersebut inilah yang agaknya ditafsirkan sebagai sebuah konsep tersendiri yang berbeda dari pendidikan profesi guru yang selama ini dilakukan kampus-kampus kependidikan, kalimat tersebut ambigu. Salah satu tafsirannya dapat ditafsirkan untuk argumen bagi harirnya PPG. Karena secara implisit pasal 4 ayat (1) tersebut menyatakan pendidikan profesi tersebut berbeda dari pendidikan keguruan yang selama ini dilakukan, yakni terdapat dalam kalimat “…program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi". Dengan kata lain, kata “yang diselenggarakan” tersebut implisit menunjukkan bahwa praktik pendidikan keguruan oleh UNJ, Unnes, UPI, UNY, Unesa, UNS, IKIP PGRI, dan lainnya selama ini bukanlah pendidikan profesi guru!

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan mewajibkan seluruh guru untuk mengikuti pendidikan profesi guru (PPG). Hal itu akan secara otomatis dibarengi pemberian gelar profesi kepada guru yakni title Gr. Gelar profesi itu menambah panjang gelar akademik sebelumnya, yakni SPd.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M. Nuh mengatakan pemberian gelar profesi guru itu terjadi setelah yang bersangkutan lulus PPG.  Namun ditekankan olehnya yang paling penting dari PPG ini adalah pendalaman ilmu yang dimiliki calon guru. Sebab menurutnya, seorang S.pd masih belum bisa disebut sebagai guru sebelum lulus dari PPG dan sertifikasi guru nanti. Sehingga, seluruh S.pd diwajibkan mengenyam kembali bangku kuliah sebelum terjun menjadi guru.
“Sama seperti lulusan kedokteran. Gelarnyakan S.ked (gelar akademik, red), itu mereka masih belum boleh nyuntik. Makanya,mereka harus mengambil pendikan profesi biar jadi gelar dr (gelar profesi) di depan. Sama, guru kan juga profesi seperti dokter,” tutur Nuh.
Dalam PPG nanti, bahan ajar yang akan diberikan akan lebih terfokus pada praktek mengajar. Hal ini diharapkan bisa memperbaiki praktek mengajar guru yang ada di Indonesia. Dengan Lama PPG pun akan disamakan dengan pendidikan profesi lainnya, yakni 1-2 tahun.
Sementara untuk guru-guru S.pd yang ada saat ini, Nuh akan memberikan waktu untuk proses penyesuaian. “Yang udah ngajar kita akan kasih waktu,” tandasnya.

Daftar Pustaka
https://serambimata.com/2014/10/13/mulai-2015-jadi-guru-harus-ppg-dulu/
https://pedagogikritis.wordpress.com/2011/04/04/kritik-atas-pendidikan-profesi-guru/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar